Minggu, 27 Desember 2009

Sebuah Resonansi Dari Perasaan

Resonansi Perasaan
Empati sering disebut-sebut sebagai resonansi dari perasaan. Secara fisika berarti ikut bergetarnya suatu benda karena persamaan frekuensi. Dengan empati, seseorang akan membuat frekuensi perasaan dalam dirinya sama dengan frekuensi perasaaan yang dirasakan orang lain. Sehingga ia turut bergetar, turut memahami, sekaligus merasakan apa yang dirasakan orang lain. Karena pikiran, kepercayaan, dan keinginan seseorang berhubungan dengan perasaannya, seseorang yang berempati akan mampu mengetahui pikiran dan mood orang lain.

Empati ini sangat kita butuhkan. Empati ini akan membuat kita terbiasa melihat sesuatu dari sisi yang lain. Empati akan membuat kita bisa cepat memisahkan orang dan masalahnya; empati akan mendorong kita untuk lebih melihat bagaimana menyelesaikan masalah ketimbang bagaimana menyerang orang.

Belajar Berempati dari Tokoh Terdahulu


Seorang pemimpin sangat dituntut profesionalitasnya dalam menjalankan tugasnya, sebagai contoh pemimpin kharismatik India Mahatma Gandhi yang menjadi inspirasi gerakan kemerdekaan di Asia pada era 40-50 an, misalnya, yang memilih berpakaian hanya selembar kain gandum karena seperti itulah rakyat kebanyakan.

Atau juga tengok Bapak Koperasi kita Bung Hatta yang menjadi sangat dikenang selain karena intelektualitasnya juga karena kesederhanaan dan kejujurannya. Semua bentuk empati dan simpatinya itulah yang membuat mereka menjadi jauh lebih paham seperti apa rakyat yang dipimpinnya ketimbang mereka-mereka yang memilih gaya borjuis saat menjadi elit politik.

Saat ini bangsa kita sedang membutuhkan orang-orang yang memiliki “sense of empati” yang tinggi, yang memiliki kepekaan empati. Empati itu tidak hanya dibutuhkan ketika bangsa kita sedang terpuruk dengan berbagai bencana yang melanda. Sebagai contohnya, ketika bangsa kita sedang tertimpa musibah tsunami aceh. Rakyat Indonesia berbondong-bondong menyumbangkan apa yang dimiliki, baik sumbangan berbentuk materi, tenaga, maupun dengan doa. Rakyat Indonesia saat itu memang tampak benar-benar bersatu, bersatu ikut merasakan apa yang dirasakan oleh saudara-saudara di Aceh, kehilangan sanak keluarga yang tercinta, kehilangan harta bernda, kehilangan bagian-bagian tubuh, merasakan kehilangan hal-hal berharga yang dimiliki, dan semua itu telah membuat kita bersatu.

Pertanyaannya apakah kita harus ditegur dulu dengan musibah semacam itu disertai ribuaan nyawa yang hilang terlebih dahulu untuk mengaktifkan sensor empati kita? Jika kita ingin mengikuti jejak tokoh terdahulu yang menunjukka empatinya atas penderitaan rakyat yang dipimpinnya, rasanya Indonesia akan segera bangkit dari keterpurukan ini. Ya… keterpurukan yang bukan disebabkan oleh mati surinya industri atau perekonomian. Tapi lebih kepada matinya hati karena enggan berbagi dan merasakan pahit getirnya kehidupan saudaranya yang lain.

Kini, empati menjadi suatu yang harus hidup dalam sanubari karena dengan berempati, menunjukkan bahwa kita adalah manusia yang masih hidup, manusia yang berperasaan, dan akhirnya menuntun kita menjadi manusia yang bermanfaat untuk sesama.

“Maut bukanlah kehilangan terbesar dalam hidup
Yang terbesar adalah apa yang mati dalam sanubari sementara kita masih hidup”
(Norman Cousins)
tulisan ini dapat dilihat disini

Jumat, 25 Desember 2009

Wanita sholeha

Melihat mu
membuat aq tak kuasa
menahan rindu...

mendengarkan kata-kata mu
menghanyutkan batian ku.

Apabila aq bertemu diri mu,
aq tidak sanggup, mengatkan..
bahwa aq mencintai mu.

Wahai engkau wanita.
apakah mungkin engkau adalah wanita
sholeha yang di takdirkan
oleh Allah untuk menemani ku.
dan menjadi Ibu dari anak-anak ku nanti.

Amiiiiiiinnnn..!!!!